Kira-kira
pukul dua pagi beberapa tahun lalu, seorang gadis cantik yang sedang menginap
di rumah saya mengetuk pintu kamar saya. Ia baru pulang dari kencang dan ingin
bicara dengan saya. Duduk di tepi ranjang, dia mengatakan keinginannya untuk
menikahi seorang pria yang tampan dan kaya. Ini bukan pria yang baru ia
kencani. Pria yang ia kencani cukup baik – seorang Kristen, tampan, menarik, “cukup keren,” tetapi tidak kaya.
“Apa yang paling kau inginkan lebih
dari segalanya dalam hidup?” tanya saya. “Pilihan TUHAN atau pilihanmu sendiri?”
“Pilihan TUHAN, tentu saja.”
“Bagaimana jika DIA memilihkan
bagimu seorang laki-laki yang miskin dan sederhana?”
“Oh, tetapi DIA tidak akan
melakukannya!”
“Mengapa tidak?”
“Karena DIA mengasihi saya.”
“Oh, begitu. Berarti DIA akan
memberikan laki-laki miskin dan sederhana kepada perempuan yang tidak DIA
kasihi?”
“Tetapi...”
“Atau, pikirkan ini, apakah DIA
mengasihi laki-laki yang miskin dan sederhana ini? Jika demikian, akankah DIA
memberikan kepada laki-laki ini perempuan yang buruk rupa? Atau akankah DIA
memberikan yang cantik?”
“Oh, tolonglah...”
“Kau mengatakan kau menginginkan
pilihan TUHAN, Jane, dan pilihan TUHAN melibatkan rencana-NYA bagi seluruh
semesta – seluruh atom, seluruh dunia, seluruh manusia, cantik dan buruk rupa,
kaya dan miskin. DIA merancang sebuah pola yang rumit untuk kebaikan, dan
sebagian dari pola itu mungkin berarti memberikan seseorang gadis yang cantik
untuk laki-laki yang sederhana. Mungkin seorang laki-laki yang tidak memiliki
uang atau tampan sedang berdoa kepada TUHAN untuk memberikanmu kepadanya.
Bagaimana?”
“Ini
terlalu rumit bagi saya. Saya sudah berdoa untuk kehendak-NYA, dan saya berdoa
untuk suami yang kaya dan tampan, dan itulah yang akan saya dapatkan karena
YESUS mengasihi saya dan YESUS ingin saya bahagia.”
“Jadi jika kau tidak mendapatkannya,
apakah itu membuktikan bahwa TUHAN tidak mengasihimu?”
Mata yang biru itu dipenuhi air
mata. “Tidakkah DIA ingin saya bahagia?” (Saya mendengar gaung suara Hawa di
Taman Eden.)
“Yang paling DIA inginkan adalah
supaya kau menjadi kudus.”
Kalau begitu berwajah muram dan
sedih. Itukah yang TUHAN inginkan? Apakah itu artinya kudus?”
“Tidak, tidak harus seperti itu.
Bahkan tidak bisa seperti itu. Kekudusan yang sejati tidak mungkin berwajah
muram dan sedih, Jane. Kekudusan
berarti ‘keutuhan,’ Akar katanya sama dengan kuat – kau tahu, kuat dan besar. Sehat. Puas.”
“Itu artinya bahagia, kan?”
“Iya. Masalahnya muncul ketika kita
memutuskan apa yang akan membahagiakan kita. Jika kita tidak mendapatkan
seperti yang kita inginkan, maka TUHAN tidak mencintai kita. Kita merayap dalam
rawa ‘mengasihani diri karena TUHAN membenci saya’.”
“Tetapi Anda baru saja mengatkan DIA
ingin kita bahagia. DIA pasti ingi memberikan apa yang kita inginkan, bukan? Maksud
saya, pemberian yang beralasan.”
“DIA ingin Adam dan Hawa bahagia
tetapi DIA tidak mau memberikan segala yang mereka inginkan. DIA tahu itu akan
menjadi kematian bagi mereka. Maka mereka marah dan memutuskan bahwa TUHAN
tidak mencintai mereka dan pelit ketika DIA memberi tahu mereka untuk tidak
menyentuh buah itu. Bagaimana mungkin DIA mengasihi mereka jika DIA tidak
membiarkan mereka memiliki buah itu? Mereka lebih mempercayai cara pikir ular
daripada TUHAN.”
Secarik kertas diberikan kepada saya
di sebuah seminar, dan pertanyaan ini tertulis di atasnya: “Apakah yang Anda
lakukan ketika Anda merasa Anda telah mencapai satu titik di mana status
membujang Anda tampaknya tidak lagi cukup untuk Anda bisa mengalami pertumbuhan
pribadi yang mendalam? Berapa lama Anda akan bertahan?”
Untung saya tidak sedang berada di
mimbar ketika pertanyaan itu tiba. Saya mungkin terbahak-bahak. Timbul keinginan
untuk memberikan jawaban iseng: “Tiga hari lagi, Anda keluar ke jalan dan minta
seseorang menikahi Anda, atau gantung diri Anda.”
Tetapi tentu saja hal itu tidak saya
katakan. Hal yang terpenting dari pertanyaan itu adalah frase “tidak lagi cukup
untuk Anda bisa mengalami pertumbuhan pribadi yang mendalam.” Apakah itu arti
membujang? Apakah berarti dalam pernikahan dan hanya untuk perkawinan merupakan
status yang mencukupi untuk pertumbuhan pribadi yang mendalam? Lalu bagaimana
YESUS bisa melewatinya sebagai seorang bujangan?
Saya kuatir ular telah berbicara
kepada orang tersebut. Ia mengendap-endap dan berbisik, “TUHAN itu kikir. DIA
menggantungkan buah yang indah, yang disebut pernikahan, di hadapan matamu dan
tidak membiarkanmu memilikinya. DIA tidak memberikan satu-satunya yang engkau
butuhkan untuk pertumbuhan pribadi yang mendalam, satu-satunya hal di seluruh
dunia yang akan menyelesaikan seluruh masalahmu dan yang membuatmu bahagia.”
Passion and Purity, Bab 6 – Cara Pikir
Ular | Elisabeth Elliot, 1984
~ To be Continue ~
~ Pilihanmu jatuh
pada Cara Pikir Ular atau Cara Pikir TUHAN? ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar