Lelaki setengah baya itu berjalan lamban. Terkadang dipegangnya dadanya yang terasa tercekam. Lalu berhenti, mengambil napas melepas sesak. Dokter bilang jantungnya memang bermasalah. Untuk itu ia perlu berobat dan ke rumah sakit. Bukan persoalan mudah bagi Mangiring Napitupulu, yang ekonominya saat itu seperti jantungnya. Kembang kempis kehidupannya makin parah. Jangankan berobat ke dokter, untuk makanpun dia harus berpikir dua kali. Betapa tidak. Pekerjaannya sebagai penambal ban motor, sudah dilepasnya. Peralatannya sudah habis dijual untuk berobat, tubuhnya yang semakin ringkih tak lagi mampu melakukan pekerjaannya yang terasa berat baginya.
Terlintas masa lalunya yang getir, Mangiring kecil, yang lahir di Pematang Siantar nyaris tak pernah mengenal ibunya, yang pergi tanpa pesan meninggalkannya dan ayahnya yang sakit-sakitan, dan tak lama kemudian meninggal dunia. Di tangan neneknya, dan berpindah dari satu keluarga ke yang lain ia tumbuh menjadi remaja yang tanpa arah. Tak sempat SMA tamat, ia berpetualang bekerja di pengeboran minyak di Riau, lalu ke Bangka sebagai buruh kasar, dan di Palembang sebagai mandor krew pengeboran minyak, sampai akhirnya berlabuh di Ibu Kota. Kehidupannya yang keras, membawanya malang melintang di dunia hitam. Menggelandang sebagai preman jalanan, nyaris semua yang berbau dosa sudah dilakoninya, hanya membunuh saja yang tidak.
Menjalani hidup sebagai orang jalanan di satu terminal ke satu terminal yang lain, kalau tak punya uang tinggal memalak, atau sejenisnya. Sikapnya yang kasar dan keras sering membuat istrinya Elbine Sitorus putus asa dan minta cerai. Meskipun KTP nya Kristen, tapi Mangiring nyaris tak pernah ke gereja, bahkan lebih bergantung kepada paranormal dan “orang pintar“.
Akhirnya ia mengenal Yesus dari Hamba Tuhan yang melayani di GBI Sawangan – Bogor. Bukan cuma itu. Iapun bertobat meninggalkan semua kejahatannya, dan membuka usaha tambal ban. Tetapi setelah dibaptis, ekonominya makin terpuruk, jantungnya bermasalah dan tak mampu bekerja lagi. Beruntunglah sebuah Gereja yang sering didatanginya memberikan bantuan ala kadarnya dan membiayai pengobatan jantungnya, meski terbatas.
Mengingat hidupnya tanpa daya, maka Mangiring beserta keluarganya setia mengunjungi gereja. Lama kelamaan, hatinya makin terbuka menerima Yesus. Pada suatu hari Minggu dia beribadah di Gereja Pantekosta Isa Almasih Jemaat Tirza di Jakarta Selatan. Keputusasaan karena penyakitnya, membuat dia mengisi hari-harinya untuk beribadah, doa puasa, doa malam dan ibadah raya. Ayah tiga orang gadis, dan seorang bocah lelaki ini datang dari rumahnya di Meruyung ke gereja naik angkot dan terkadang disambung dengan jalan kaki karena uangnya terbatas. Kesetiaannya untuk berdoa mencari kesembuhan ini diperhatikan seorang pejabat gereja kecil itu yang memang sedang bergumul untuk mencari beberapa aktivis gereja. Ketika diwawancara khusus dan ternyata memenuhi syarat untuk menjadi seorang Pendeta Pembantu, maka Mangiring Napitupulu ditahbiskan menjadi Pendeta Pembantu. Kehidupan keluarganyapun makin berkembang. Anak pertamanya Desi, dibiayai gereja untuk kuliah di STT Duta Panisal di Jember. Seorang Pendeta yang saat itu diundang berkotbah di gereja tersebut digerakkan Tuhan untuk memberkatinya dengan motor baru. Maka Mangiring pun semakin percaya bahwa kasih Yesus Kristus yang sempurna sedang bekerja mengubah kehidupannya. Lelaki yang pemarah dan kasar terhadap istri dan anak-anaknya semakin berubah setelah mengikuti Men’s Camp Pria sejati. “Bapak tidak seperti dulu lagi, berubah tidak minum dan mabok, sekarang perhatian sama anak dan istri“, ujar Desi anak sulungnya yang ingin mengikuti jejak ayahnya untuk menjadi Hamba Tuhan.
Tahun ini Mangiring merasa jantungnya semakin pulih, juga merasa mendapat anugerah karena sudah menjadi Pendeta Muda, dan sering di mimbar memberitakan Firman Tuhan.
“Masih banyak kekurangan saya, karena latar belakang saya yang gelap dan keras. Tidak mudah mengubah karakter preman jalanan menjadi karakter Hamba Tuhan. Tetapi saya percaya, Roh Kudus akan menolong saya”, kata ayah Desi, Dina, Dona dan Daniel ini. Sekarang di rumahnya ada persekutuan doa, setiap Sabtu malam, menjelang diresmikan sebagai Pos PI.
Dari latar belakang kehidupannya, Mangiring tak pernah berpikir untuk bisa menjadi manusia yang indah dimata Tuhan dan menjadi HambaNya, tetapi itulah yang menyebabkan dia bangga kepada Yesus. “Dari lumpur dosa aku diangkat menjadi anakNya, dikasihi dan dimuliakanNya.” Kekuatan doanya memulihkan hidupnya menjadi ciptaan yang baru didalam Kristus. (Sri Rastiti)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar