Seorang gadis di hamil di luar nikah. Setelah ditanyai berkali-kali, akhirnya ia mengaku bahwa bapak dari anak yang dikandungnya adalah seorang bijak yang setiap hari beribadah dan tinggal di luar desa.
Orang tua si gadis bersama banyak penduduk desa beramai-ramai menemui si orang bijak. Dengan kasar mereka menyerbu orang bijak yang tengah berdoa. Mereka menghajarnya karena kemunafikannya dan menuntut si orang bijak untuk menanggung biaya untuk membesarkan si anak yang sudah lahir itu.
Menghadapi hal itu, orang bijak hanya mengatakan, "Baiklah, baiklah."
Setelah orang banyak pergi meninggalkannya, ia memungut bayi itu dari lantai. Ia minta supaya seorang ibu dari desa memberi anak itu makan dan pakaian serta merawatnya atas tanggungannya.
Orang bijak itu jatuh namanya. Tidak ada lagi orang yang datang untuk meminta nasihat kepadanya.
Setelah peristiwa itu berlalu setahun lamanya, gadis yang melahirkan anak itu tidak kuat lagi menyimpan rahasianya lebih lama. Akhirnya, ia mengaku bahwa ia telah berdusta. Ayah anak itu sesungguhnya adalah pemuda di sebelah rumahnya. Orang tua si gadis dan penduduk kampung amat menyesal. Mereka bersembah sujud di kaki si orang bijak untuk mohon maaf dan meminta kembali anak tadi.
Melihat hal itu, orang bijak mengembalikannya dan yang dikatakannya hanyalah, "Baiklah, baiklah."
* * * * *
Apa pendapat Anda mengenai orang bijak tadi? Mengapa ia sama sekali tidak membela dirinya dan membiarkan kredibilitasnya jatuh?
Padahal, bukankah kredibilitas dan nama baik adalah segala-galanya? Bukankah justru banyak orang yang berusaha mempertahankannya mati-matian?
Pembaca yang budiman, berkaitan dengan nama baik ini, kita dapat membedakan tiga jenis manusia.
Orang pertama saya sebut Manusia Politis. Mereka tidak harus politisi, tetapi mereka adalah orang-orang (termasuk pelaku bisnis) yang menjadikan citra sebagai fokus perhatian yang utama. Bahkan, bagi mereka citra itu lebih penting daripada kenyataan.
Manusia tipe ini senantiasa mendandani, menghiasi dan memermak diri mereka dengan berbagai cara. Yang terpenting bagi mereka adalah mengerek citra.
Mereka membangun persepsi bahwa merekalah yang paling pandai, paling hebat dan paling bagus. Sayangnya, mereka tidak berusaha meningkatkan kualitas diri mereka karena telah cukup puas "bermain" di tingkat persepsi. Mereka cukup puas kalau kelihatan baik (looks good ), padahal mereka tidak benar-benar baik (be good).
Mereka telah melanggar hukum alam yang mensyaratkan pertumbuhan dari dalam (be good) ke luar (looks good). Karena itu, suatu ketika nanti mereka akan menanggung akibatnya dalam bentuk hilangnya kepercayaan (trust).
Nah, rumus orang pertama tadi: Looks Good > Be Good, sedangkan rumus orang kedua adalah Looks Good = Be Good. Inilah yang saya sebut sebagai Manusia Bisnis.
Orang jenis ini berusaha mengomunikasikan semua potensi yang ia miliki agar dapat dikenali pasar. Mereka menyadari bahwa promosi (looks good) itu penting, tetapi yang lebih penting lagi adalah membangun kualitas ke dalam (be good).
Orang ketiga adalah Manusia Spiritual. Ini seperti orang bijak dalam cerita di atas. Bagi orang seperti ini be good jauh lebih penting daripada looks good. Jadi, rumus mereka: Looks Good < Be Good.
Anda mungkin bertanya, mengapa bisa demikian? Ada beberapa alasannya.
Pertama, bagi manusia spiritual, satu-satunya yang penting adalah be good, yaitu bagaimana caranya menjadi orang yang baik. Karena itu, seluruh waktu yang dimilikinya ia curahkan untuk senantiasa meningkatkan kualitas dirinya. Tak ada lagi waktu yang tersisa untuk membangun citra.
Bagi orang yang spiritual, persepsi atau pandangan orang terhadap dirinya menjadi kurang penting karena yang terpenting adalah bagaimana pandangan Tuhan terhadap dirinya. Dan ketika bicara mengenai Tuhan, sejatinya persepsi menjadi tak ada artinya sama sekali. Tuhan adalah Yang Maha Mengetahui. Karenanya, di hadapan Tuhan manusia tidak mungkin lagi menyembunyikan dirinya di balik topeng-topeng persepsi. Bukankah di hadapan Tuhan tidak ada yang namanya looks good? Bukankah di hadapan Tuhan yang ada hanya be good? Inilah yang membuat orang yang spiritual tidak pernah membuang waktunya sedikit pun untuk urusan looks good.
Kedua, karena pemahaman semacam itu, orang yang spiritual yakin bahwa pada akhirnya be good akan selalu mengalahkan looks good. Orang yang spiritual sadar sepenuhnya bahwa looks good hanyalah sebuah penampakan yang tidak kekal dan boleh jadi penuh dengan kepalsuan. Dan karena kebenaran senantiasa mengalahkan kepalsuan, pada akhirnya be good-lah yang akan menang. Maka, mereka hanya membangun be good dan senantiasa menjadi orang yang lebih baik dari hari ke hari. Mereka sadar bahwa hanya dengan menjadi baiklah mereka akan terlihat baik. Dan bukankah tanpa bersusah payah membangun citra, citra yang akan tercipta justru menjadi lebih alami, lebih tulus dan lebih terpercaya?
Ketiga, orang-orang yang spiritual ini sadar bahwa memikirkan citra malah akan mengurangi nilai kebaikan yang mereka berikan. Sehingga, seluruh energi hanyalah mereka curahkan untuk kebaikan. Mereka tak pernah mengharapkan balasan apa pun. Mereka hanya yakin sepenuhnya dengan hukum kekekalan energi, yaitu bahwa semua yang mereka berikan kepada dunia sesungguhnya akan kembali lagi kepada mereka dalam bentuk yang berbeda.
Pembaca yang budiman, spiritualitas akan membuat hidup kita menjadi jauh lebih sederhana. Ketika ada orang yang menjelek-jelekkan kita, kita tidak akan terlalu dipusingkan untuk menangkis segala tuduhan dan serangan. Orang yang spiritual sadar bahwa nama baiknya tidak akan pernah jatuh oleh apa yang dikatakan orang tentang dirinya. Nama baiknya justru akan jatuh oleh apa yang ia katakan mengenai orang tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar