Sejak kecil Nengsih sering melihat perilaku kasar sang Ayah kepada ibunya.
“Dulu keluaga kami punya toko kelontong di rumah. Pada suatu hari orang tua kami bertengkar. Dalam pertengkaran sengit itu, tiba-tiba sebuah botol kecap melayang tepat di kening sang ibu, darah segarpun keluar,” ujar Nengsih mengenang masa lalunya.
Karena waktu itu Nengsih masih kecil, ia hanya bisa menyaksikan pertengkaran hebat tersebut dari balik pintu sambil menangis. Dan ia tidak menyangka Ayahnya akan sekasar itu kepada ibunya. Kebencian yang mendalam kepada sang ayah akhirnya tertanam dalam diri Nengsih. Sang Ayah di mata Nengsih bagai monster dalam keluarganya.
Kekerasan demi kekerasan menjadi pemandangan sehari-hari bagi Nengsih, hingga suatu hari ia dan saudara-saudaranya berusaha melerai pertengkaran orang tua mereka.
Puncak kebencian Nengsih kepada Ayahnya terjadi ketika suatu hari, karena tidak sengaja bermain bakar-bakaran di dalam rumah, rumah mereka hampir saja terbakar betulan. Ayah Nengsih dengan penuh emosi memarahinya, juga mengikat serta mengurung Nengsih dalam sebuah ruangan untuk waktu yang cukup lama. Nengsih menangis dan terus berteriak mohon ampun kepada Ayahnya, tetapi teriakan itu tidak digubris. Hal ini sangat membekas dalam diri Nengsih dan kebenciannya pada sang ayah pun semakin bertambah.
Sebagai seorang anak kecil pada waktu itu, Nengsih ingin sekali dipeluk oleh sang Ayah. Ia juga ingin mendapatkan kasih sayang yang penuh dari seorang Ayah. Namun semua keinginan itu hanyalah sebuah angan yang tak pernah terwujud dalam hidup Nengsih saat itu.
Menjelang dewasa, Nengsih menjalin hubungan dengan seorang pria yang umurnya jauh lebih tua darinya. Harapan Nengsih ia akan mendapatkan kasih sayang dan rasa aman dari sang pacar. Ternyata setelah Nengsih menjatuhkan pilihan kepada sang kekasih, ia baru tahu bahwa sang kekasih adalah sepupunya sendiri. Hal ini tidak membuat Nengsih mundur, ia merasa yakin akan pilihannya .
Harapan Nengsih ternyata salah karena pada suatu hari ia mendapat telpon dari seorang wanita yang mengaku sudah menjadi pacar dari kekasihnya selama 10 tahun. Hati Nengsih pun bertambah hancur. Belum lama luka hatinya sembuh, kembali hal mengejutkan terjadi dalam hidup Nengsih. Ayahnya meninggalkan mereka dan pergi dengan wanita lain. Namun hal yang lebih menyakitkan bagi Nengsih adalah kepergian ayahnya yang meninggalkan hutang yang cukup besar dan semua itu harus ditanggung oleh keluarganya padahal ibunya sudah bersusah payah berjuang menghidupi keluarganya.
“Pada waktu itu jujur saya sering kali ingin bunuh diri, karena hidup ini sudah tidak berarti lagi,” ujar Nengsih kepada Tim Solusi.
Suatu hari pada saat Nengsih pulang kuliah, ia dan teman-temannya duduk di sebuah halte untuk menunggu bus. Kepada seorang teman ia mengatakan bahwa ia ingin masuk asuransi agar kelak kalau ia bunuh diri dan meninggal, maka uangnya akan diberikan kepada Ibunya. Dengan uang tersebut ia berharap Ibunya akan terbebas dari hutang.
Teman Nengsih tersenyum sambil berkata, “Kamu bodoh kalau kamu melakukan itu. Tidak ada orang yang bunuh diri terus dapat uang dari asuransi.” Setelah sampai di rumah, Nengsih langsung masuk kamar dan menangis.
Kemudian ia teringat akan sosok Yesus yang ia dengar pada waktu ia masih di sekolah dasar. Lalu Nengsih mulai berdoa kepada Tuhan dengan sepenuh hati. Pada saat itu juga ia mengambil keputusan untuk mencurahkan segala isi hatinya kepada Tuhan. Mulai saat itu, setiap hari, Nengsih mulai rajin membaca Firman.
Seiring berjalannya waktu, Nengsih juga mulai menemukan kepercayaan diri. Semenjak ia menyerahkan dirinya kepada Tuhan, ada sukacita yang luar biasa mengalir dalam dirinya.
“Tuhan adalah sebuah anugerah yang tak ternilai buat hidup saya,” ujar Nengsih dengan mantap. Dan bersama Tuhan ia mulai menemukan figur seorang Ayah. Pemulihan yang dialami Nengsih berdampak pula pada hubungannya dengan sang Ayah. Hubungan Nengsih dengan ayahnya semakin membaik. Hati Nengsih pun sejalan dengan waktu dipulihkan dari kekecewaan yang mendalam terhadap ayahnya. Nengsih mulai menghargai Ayahnya. Bahkan ketika Nengsih wisuda, ia mengundang ayahnya untuk mendampinginya.
Menurut Nengsih, seburuk apapun ayahnya, pasti ia merindukan Tuhan sama seperti dirinya. Pemulihanpun terjadi. Seluruh keluarganya sudah bisa melupakan kejadian masa lalu dan memulai hidup yang baru.
“Pada tahun 2008, Ayah saya meninggal dunia. Namun sebelum ia meningal, saya merasakan kasih Tuhan yang memulihkan hidup dia,” ujar Nengsih menutup kesaksiannya. Nengsih juga bersyukur boleh merasakan kasih Tuhan yang begitu besar kepada Keluarganya. (Kisah ini sudah ditayangkan pada tanggal 22 Oktober pada Acara Solusi Life di O’Channel).
Nara Sumber : NengsihVideo = http://www.youtube.com/watch?v=6rhpTt8ZY5I
Tidak ada komentar:
Posting Komentar